Makna Lagu Love It If We Made It – The 1975

makna-lagu-love-it-if-we-made-it-the-1975

Makna Lagu Love It If We Made It – The 1975. Dirilis Juni 2018 sebagai single utama album A Brief Inquiry Into Online Relationships, “Love It If We Made It” langsung disebut sebagai lagu paling penting The 1975. Dalam lima menit, Matty Healy melempar headline berita, tweet kontroversial, dan jeritan generasi ke dalam satu ledakan emosi. Dengan build-up yang dramatis, chorus yang teriak-able, dan lirik yang penuh kutipan dunia nyata, lagu ini jadi semacam berita utama dalam bentuk musik tentang tahun 2016–2018 yang kacau balau. MAKNA LAGU

Headline Dunia yang Jadi Lirik: Makna Lagu Love It If We Made It – The 1975

Matty mengambil kalimat-kalimat langsung dari berita dan media sosial:

  • “Thank you, Kanye, very cool!” (tweet viral Donald Trump)
  • “I moved on her like a bitch” (rekaman Access Hollywood Trump)
  • “The war has been incited, poisoned by these fascists”
  • “A beach of bodies and they’re selling kids in cages”

Semua itu disusun tanpa filter, seperti scroll timeline Twitter yang terlalu cepat. Tujuannya bukan untuk menggurui, tapi untuk menunjukkan betapa absurd dan mengerikannya realitas yang kita terima setiap hari. Chorus “We’re fucking in a car, shooting heroin… and I’d love it if we made it” adalah sarkasme paling pedas: di tengah dunia yang terbakar, kita masih sibuk dengan hal-hal kecil dan destruktif, tapi tetap berharap bisa selamat.

Kritik pada Generasi dan Dirinya Sendiri: Makna Lagu Love It If We Made It – The 1975

Matty tidak cuma menunjuk jari ke luar; dia juga menunjuk ke dalam. Baris “Modernity has failed us” adalah pengakuan bahwa teknologi, media sosial, dan “kemajuan” yang kita banggakan justru membuat kita lebih terpecah, lebih cemas, dan lebih mati rasa. Dia juga menyisipkan referensi pribadi: “Selling melanin and then suffocate the black men” bicara rasisme sistemik, sementara “Forgiveness, God rest my soul” terasa seperti doa pribadi seorang yang tahu dirinya juga bagian dari masalah.

Musik sebagai Senjata Protes

Aransemen dimulai pelan seperti berita pagi, lalu meledak dengan gitar besar dan drum yang menghentak. Di menit akhir, semua instrumen berhenti dan hanya tersisa suara Matty yang teriak “I’d love it if we made it” berulang-ulang, seperti jeritan terakhir sebelum dunia benar-benar runtuh. Efeknya brutal: kamu tidak bisa cuek setelah mendengarnya.

Dampak yang Masih Terasa di 2025

Tujuh tahun kemudian, hampir semua isu di lagu ini masih relevan, malah bertambah parah. Perang informasi, polarisasi politik, krisis iklim, rasisme, dan kesehatan mental masih jadi headline harian. Karena itu, “Love It If We Made It” tidak lagi terasa seperti lagu 2018, tapi seperti ramalan yang terus terbukti benar. Di konser, chorus itu masih dinyanyikan puluhan ribu orang seolah-olah sedang berdoa bersama.

Kesimpulan

“Love It If We Made It” adalah lagu protes paling jujur di era digital: tidak menawarkan solusi, tidak berpura-pura punya jawaban, hanya menatap dunia apa adanya dan bilang “ini gila, tapi aku masih berharap kita bisa selamat”. Matty Healy berhasil menjadikan kekacauan global terasa sangat personal, dan harapan kecil di tengah kehancuran terasa sangat manusiawi. Di akhir lagu, ketika dia teriak “I’d love it if we made it” untuk terakhir kali, kamu tidak tahu apakah itu doa, ejekan, atau keduanya. Tapi kamu tahu satu hal: kalau kita memang berhasil “made it”, lagu ini akan selalu jadi saksi bahwa kita pernah hampir tidak berhasil.

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *